PODCAST, lightcyan-chicken-961813.hostingersite.com – Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bukan sekadar penopang ekonomi daerah, melainkan denyut nadi kehidupan rakyat kecil — dari penjual cilok keliling, penjahit rumahan, hingga pelaku usaha kecil yang bertahan dengan segala keterbatasan. Namun di lapangan, masih banyak yang merasa belum tersentuh program pemberdayaan dari pemerintah.
Isu inilah yang menjadi bahan bahasan dalam podcast Wakil Rakyat bersama Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, H. Samsul Hidayat, S.Ag., M.Pd.I, yang dipandu oleh jurnalis Dialog Masa, Mas Ali.
Dalam perbincangan yang mengalir hangat, Ketua DPRD menegaskan bahwa lembaganya berkomitmen memperkuat peran dan perlindungan terhadap pelaku UMKM.
“DPRD adalah bagian dari pemerintah daerah. Kami bersama eksekutif berupaya memperkuat UMKM. Hanya saja, sosialisasi ke masyarakat memang perlu ditingkatkan agar informasi program tidak berhenti di tengah jalan,” jelas Samsul.
Perorangan Bisa Ajukan Bantuan Lewat Dinsos
Samsul menjelaskan, pelaku usaha perorangan juga tetap bisa mendapatkan bantuan pemerintah, meskipun jalurnya berbeda dengan kelompok usaha.
“Kalau sifatnya perorangan, seperti penjual gorengan, penjahit, atau tukang sayur, bisa melalui program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Dinas Sosial. Itu termasuk bantuan sosial. Sedangkan kalau sudah berbentuk kelompok, maka bisa lewat Dinas Koperasi atau Perindustrian dan Perdagangan,” terangnya.
Ia menambahkan, pemerintah daerah berencana menata ulang struktur organisasi perangkat daerah (SOTK) pada 2026 agar penanganan program UMKM lebih efektif dan mudah diakses masyarakat.
Tantangan di Tengah Gempuran Toko Modern
Ketua DPRD juga menyoroti maraknya toko modern yang menyingkirkan pedagang kecil dan pasar tradisional. Padahal, Perda Nomor 5 Tahun 2011 sudah mengatur jarak dan kewajiban toko modern untuk menampung produk lokal.
“Perda itu masih berlaku, tapi perlu direvisi. Misalnya jarak antar toko modern minimal satu kilometer, tapi di lapangan banyak yang berdempetan. Ini harus ada ketegasan dari pemerintah daerah,” ujarnya.
Selain jarak, Perda juga mewajibkan toko modern menyediakan rak khusus produk UMKM lokal. Namun, aturan ini jarang diterapkan.
“Toko modern jangan hanya ambil untung di Pasuruan, tapi juga harus menampung produk masyarakat Pasuruan,” tegasnya.
Perlindungan Hukum bagi Pelaku UMKM
Menanggapi kasus pelaku UMKM di Pasuruan yang tersandung hukum akibat masalah merek dagang, Samsul menyampaikan keprihatinan sekaligus imbauan agar pelaku usaha memperhatikan aspek legalitas sejak dini.
“Sekarang pendampingan legalitas sudah gratis. Mulai dari NIB, sertifikat halal, sampai izin usaha, semua bisa difasilitasi pemerintah,” jelasnya.
DPRD bersama Pemkab Pasuruan bahkan telah menyiapkan pendampingan hukum gratis melalui kerja sama dengan Jaksa Pengacara Negara (Kejari Pasuruan).
“Kalau ada warga menghadapi masalah hukum, bisa datang ke Bagian Hukum Setda di Raci. Nanti akan diverifikasi, kalau layak didampingi akan difasilitasi,” tambahnya.
Gerakan Cinta Produk Lokal
Menutup pembahasan, Samsul mengungkap gagasan sederhana namun berdampak besar bagi ekonomi rakyat:
“Kalau setiap ASN dan PPPK di Kabupaten Pasuruan menyisihkan Rp50.000–Rp100.000 per bulan untuk membeli produk UMKM lokal, perputaran uang di bawah akan terasa. Ini langkah kecil, tapi efeknya luar biasa,” ungkapnya.
Ia juga mengajak masyarakat untuk lebih aktif mencari informasi, melengkapi legalitas, dan terus berinovasi.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Pembangunan ekonomi akan kuat kalau masyarakat juga mau bergerak,” pesannya.
Penutup dari Host: Refleksi untuk Pasuruan
Di akhir podcast, Mas Ali menutup dialog dengan kalimat penuh makna yang merangkum semangat kebersamaan antara rakyat kecil dan pemerintah daerah:
“Kemajuan suatu daerah tidak hanya dinilai dari banyaknya investasi-investasi besar yang masuk atau banyaknya perusahaan yang ada. Akan tetapi, kemajuan suatu daerah juga dinilai dari sisi bagaimana pengusaha kecil bisa bertahan dan tumbuh di tanahnya sendiri.”
Kalimat tersebut menjadi penutup yang menegaskan bahwa keadilan ekonomi bukan hanya soal angka pertumbuhan, tetapi tentang ruang hidup yang layak bagi rakyat kecil di tanah kelahirannya sendiri.

